KRUSIAL.online, INTERNASIONAL – Dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, Srilangka kini tengah menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948. Tak hanya krisis ekonomi, krisis kemanusiaan juga tak terelakan.
Konon selain Sri Lanka, terdapat sembilan negara lainnya yang juga terancam akan menyusul bangkrut. Berdasarkan laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sembilan negara tersebut adalah Afghanistan, Argentina, Mesir, Laos, Lebanon, Myanmar, Pakistan, Turki, dan Zimbabwe.
Afganistan, mengalami krisis dimulai sejak Taliban mengambil kendali ketika AS dan sekutu NATO-nya menarik pasukan mereka tahun lalu di negara yang dikenal dengan sebutan “Kuburan Para Penguasa”. Sekitar setengah dari 39 juta penduduk menghadapi tingkat keamanan pangan yang mengancam jiwa dan sebagian pengawai negeri, termasuk dokter, perawat, guru tidak dibayar berbulan-bulan.
Laos, akibat mata uang Kip mengalami depresiasi 30 %, sehingga telah memperburuk kesengsaraan rakyatnya. Kenaikan harga dan hilangnya pekerjaan karena pandemi mengancam serta memperburuk tingkat kemiskinan di negara berjuluk Negeri Seribu Gajah itu.
Myanmar, selama masa pandami dan ketidakstabilan politik telah menghantam ekonomi Negara Seribu Pagoda Emas tersebut. Terutama setelah tentara berhasil merebut kekuasaan pada Februari 2021 dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.
Pakistan, melonjaknya harga minyak mentah mendorong naiknya bahan bakar yang pada gilirannya menaikkan biaya lainnya, mendorong laju inflasi hingga lebih dari 21 %. Pada akhir Maret cadangan devisa di Negara Seribu Cahaya itu telah turun menjadi US$ 13,5 miliar, setara dengan 2 bulan impor.
Argentina, sekitar empat dari sepuluh orang di Negara Tanggo miskin dan Bank Centralnya kehabisan devisa karena mata uang Peso melemah. Sehingga mengakibatkan laju inflasi diperkirakan akan melebihi 70 % tahun ini.
Mesir, lonjakan inflasi di negara Piramida itu melonjak hampir 15 % pada April sehingga menyebabkan kemiskinan bagi hampir sepertiga dari 103 juta penduduknya.
Lebanon, keruntuhan mata uang Pound, diperperah kekurangan uang, disertai tingkat inflasi yang mendekik, belum lagi kondisi rakyatnya kelaparan yang meningkat, antrean yang mengular untuk mendapatkan bahan bakar dan kelas menengah yang hancur. Negara yang dikenal sebagai Swiss-nya Timur Tengah ini juga mengalami perang saudara yang berkepanjangan, sehingga pemulihannya terhambat oleh disfungsi pemerintahan dan serangan teror.
Turki, meski awalnya banyak disebut sebagai negara kuat, tetapi faktanya ambyar di terjang laju inflasi yang melambung di atas 70 % dengan tingkat pengangguran yang tinggi. Bank sentral terpaksa mengunakan cadangan devisa untuk menangkis krisis mata uang.
Zimbabwe, inflasi di negara yang berada di Benua Hitam atau Afrika tersebut rupanya melonjak hingga lebih dari 130 % membuat warga negara itu tidak percaya dengan mata uangnya sendiri dengan menambah permintaan dolar AS. Banyak warga terpaksa mengurangi makan karena mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.
Mengacu data yang diperoleh dari PPB, sejumlah negara yang mengalami krisis ekonomi global. Lembaga dunia itu menyebutkan bahwa ada 1,6 miliar orang di 94 negara menghadapi setidaknya satu dimensi krisis pangan, energi dan sistim keuangan.
Sekitar 1,2 miliar dari penduduk tersebut tinggal di negara-negara dengan “badai sempurna” dan sangat rentan terhadap krisis biaya hidup ditambah krisis jangka panjang lainnya.

Lalu bagaimana dengan Indonesia, apakah juga kena imbas dari krisis global tersebut ? Menurut keterangan Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, sebagaimana dilansir viva.co.id, Indonesia mendapatkan keuntungan dari ‘windfalls’ atau istilahnya dapat durian runtuh dari kenaikan harga-harga komoditas global.
Andry mengatakan, posisi Indonesia mungkin akan lebih sulit jika bukan merupakan negara penghasil komoditas CPO (Crude Palm Oil), nikel bahkan batu bara. Sehingga, lanjut Andry, faktor keunggulan Indonesia saat ini sebenarnya berasal dari kenaikan harga-harga komoditas energi tersebut.
“Sehingga Indonesia bisa menekan sisi belanja, dan akhirnya menambal defisit lebih besar lagi. Kondisi inilah yang kami pikir berbeda dari kondisi negara-negara yang terancam ambruk itu,” ujar Andry.
“Jadi apakah dari berbagai indikator ekonomi Indonesia cukup aman? So far, kalau kita lihat dari apa yang kita terima dari neraca perdagangan, itu defisit-nya masih relatif cukup kecil,” timpalnya lagi.
Penulis/Editor : A Hairuddin