KRUSIAL.online, NASIONAL – Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) menjadi UU PDP oleh DPR RI menuai banyak catatan dari sejumlah pihak, karena dinilai menguntungkan pejabat publik, bahkan dapat mengancam kerja jurnalis dalam mengungkap fakta dilapangan.
Dalam Rapat Paripurna yang di pimpin Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F Paulus yang digelar Selasa (20/9/2022) kemarin, secara sepakat 295 anggota dewan yang hadir baik secara offline sebanyak 73 orang maupun yang mengikuti melalui online 206 orang menyetujui di sahkannya RUU PDP menjadi UU PDP.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Johnny G Plate, UU PDP akan menjadi payung hukum untuk melindungi data pribadi.
“Dari sisi hukum UU PDP dapat di maknai sebagai payung hukum perlindungan data pribadi yang lebih komprehensif, memadai dan berorentasi ke depan,” kata Johnny di hadapan sidang paripurna DPR RI Selasa kemarin.
Naskah RUU PDP tersebut sebenarnya sudah dibahas sejak 2016, terdiri dari 371 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), sebanyak 16 Bab serta 76 Pasal. Namun jumlah pasal dalam RUU PDP tersebut bertambah 4 pasal dari usulan awal pemerintah pada 2019 yakni 72 Pasal.
Namun dibalik pengesahan UU PDP tersebut menjadi sorotan tajam, karena cenderung memihak pejabat negara. Tidak hanya itu kerja jurnalistik juga terancam dengan kehadiran UU itu, mengingat ada beberapa pasal yang berpotensi memasung kebebasan pers.
Direktur Eksekutif LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pers, Ade Wahyudin, menyatakan, kekhawatirannya dengan di sahkannya UU PDP akan dijadikan alat untuk ketertutupan informasi. Padahal saat ini sudah ada UU keterbukaan informasi.
“Sebagaimana tertera Pasal 65 soal pemidanaan pengungkapan data pribadi. Dalam pasal tersebut tidak ada pengecualian untuk pejabat publik, kemudian yang kedua tidak ada pengecualian kerja-kerja jurnalistik,” ungkap Ade.
Ini artinya data pribadi pejabat publik tidak boleh di ungkap ke muka umum. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Ayat 2 UU PDP disebutkan bahwa data kejahatan pribadi tidak boleh di ungkap ke publik. Padahal untuk mengetahui rekam jejak kejahatan calon pejabat publik menjadi penting dalam proses demokrasi.
Aturan hukum perlindungan data pribadi memang menjadi sorotan, terutama setelah maraknya peretasan jual beli data pribadi warga Indonesia di dunia maya. Kebocoran data pribadi warga Indonesia tersebut, pemerintah malah saling lempar tanggung jawab dan terkesan ingin cuci tangan.
Seperti pernyataan Johnny G Plate, Menkominfo ketika Rapat Kerja (Raker) dengan DPR RI mengatakan, bahwa terhadap semua serangan ruang digital bukan domain Komimfo tetapi menjadi domain teknis Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
“Jadi terkait dengan serangan siber, kita tidak bisa menjawab, karena itu ranah BSSN,” kilah mantan legislator dari Partai Nasdem itu.
Penulis/Editor : A Hairuddin