KRUSIAL.online, BANGKALAN – Dugaan praktik jual beli seragam dan atribut sekolah kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, SMAN 1 Kwanyar menjadi sorotan setelah muncul laporan dari wali murid yang mengaku diwajibkan membeli seragam sekolah melalui pihak sekolah atau koperasi, dengan total biaya mencapai Rp 1.500.000. Hal ini memicu keresahan di kalangan orang tua siswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Salah satu wali murid yang enggan disebutkan namanya menyatakan bahwa dirinya merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Menurutnya, kewajiban membeli seragam dari sekolah bukan hanya membebani secara finansial, tetapi juga menyalahi aturan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
“Kami disuruh membeli seragam lengkap senilai satu juta lima ratus ribu rupiah. Katanya bisa dicicil bagi siswa tidak mampu, tapi tetap saja berat bagi kami,” ungkapnya saat ditemui oleh awak media.
Ketika dikonfirmasi terkait hal tersebut, Kepala SMAN 1 Kwanyar, Mohammad Jari, memberikan klarifikasi. Ia menyatakan bahwa dirinya belum pernah memerintahkan panitia atau pihak manapun untuk menjual seragam. Ia juga menegaskan bahwa kwitansi yang beredar merupakan kwitansi tunggakan dari dua tahun silam, sementara dirinya baru menjabat selama tujuh bulan terakhir.
“Mohon maaf, saya belum pernah memberikan perintah apa pun kepada panitia. Untuk kwitansi yang beredar, itu adalah dokumen tunggakan dua tahun lalu, sedangkan saya baru menjabat di sini tujuh bulan,” dalihnya.
Namun, pernyataan Kepala Sekolah tersebut dibantah keras oleh Syaiful Anam, perwakilan dari LSM Pejuang Reformasi Indonesia (PRI). Ia mengecam keras dugaan praktik jual beli seragam di lingkungan sekolah, dan menyebut hal itu sebagai bentuk malpraktik yang melanggar hukum.
“Ini jelas-jelas melanggar peraturan yang berlaku. Tidak boleh ada kewajiban membeli seragam dari sekolah atau pihak ketiga. Kami akan menindak tegas dan membawa kasus ini ke ranah hukum,” tegasnya.
Syaiful juga mengaku telah menerima laporan dari wali murid yang datang langsung padanya pada hari ini, 19 Juni 2025. Ia berkomitmen untuk mengumpulkan bukti-bukti yang cukup sebelum melaporkannya ke aparat penegak hukum.
“Kok bisa-bisanya kepala sekolah mengelak? Ini laporan baru saja masuk hari ini. Kami sedang kumpulkan semua bukti, dan akan kami serahkan ke pihak berwajib agar oknum-oknum yang terlibat bisa diberi sanksi tegas,” pungkasnya.
Kasus ini menambah panjang daftar persoalan transparansi dan integritas di lingkungan pendidikan. Praktik semacam ini, jika benar terjadi, bukan hanya merugikan secara ekonomi, namun juga mencederai semangat pendidikan yang seharusnya bebas dari unsur komersialisasi.
Penulis : Jamal
Editor : A Hairuddin